- Oleh Yayang Nanda Budiman
- 10, Dec 2024
Medialombok.com - Kekerasan berbasis gender dewasa ini tengah menjadi isu global yang kian mendesak, termasuk Indonesia. Salah satu manifestasi ekstrimnya adalah femisida—pembunuhan terhadap perempuan yang telah mencapai tingkat keprihatinan yang signifikan. Dalam piramida kekerasan berbasis gender, femisida berada di posisi teratas, menampilkan sinyal bahwa fenomena ini teramat serius.
Merujuk pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dilatarbelakangi oleh faktor gender, terutama ideologi patriarki, norma sosial maskulinitas, serta keinginan untuk menegakkan dominasi laki-laki dan peran gender tertentu. Hal ini termasuk juga upaya untuk menghukum perempuan yang dianggap tidak relevan dengan norma berlaku (UNODC, 2021).
Komnas Perempuan mempertegas bahwa femisida bukanlah sebatas pembunuhan biasa, melainkan merupakan tindak kekerasan sistematis yang didorong oleh ketidaksetaraan gender, praktik dominasi dan penindasan terhadap perempuan.
Istilah “femisida” bermula dipelopori oleh Diana Russel pada tahun 1976 dalam International Tribunal on Crimes Against Women, dengan didefinisikan sebagai praktik pembunuhan yang bermotifkan kebencian terhadap perempuan, yang dilakukan oleh laki-laki semata-mata karena pihak korban adalah perempuan.
Dalam The Politics of Women Killing, Jill Radford dan Diana E.H Russell (1992) menjelaskan bahwa femisida muncul dalam berbagai bentuk: hubungan rumah tangga, rasisme, homofobia, hingga femisida yang dilakukan oleh pelaku tak dikenal.
Meninjau riset yang dilakukan oleh Komnas Perempuan (2021) membagi femisida menjadi dua jenis: femisida langsung, yang merupakan pembunuhan dengan niat sejak awal, dan femisida tidak langsung, di mana kekerasan berujung pada pembunuhan meski tanpa niat untuk membunuh sejak awal.
Namun, fenomena femisida tak muncul begitu saja. Ia merupakan dampak dari kompleksitas struktur sosial yang timpang secara gender, mengakarnya seksisme, kebencian terhadap perempuan dan disparitas kekuasaan. Beragam faktor ini menjadi masalah femisida yang kerap terabaikan. Tak sedikit kasus pembunuhan terhadap perempuan, yang terjadi dalam konteks perang, politik atau wilayah teritorial, seringkali tak tercatat sebagai bentuk femisida, melainkan sebagai kejahatan konvensional, yang membuat implikasi dari femisida itu sendiri rumit untuk dikenali dan dipahami (Collaborate, 2015).
Di Indonesia, hingga kini tak ada payung hukum khusus yang mengatur soal femisida. Sejumlah kasus yang nampak jelas mengindikasikan femisida seringkali dikategorikan sebagai bentuk kejahatan biasa, yang berdampak pada minimnya data akurat perihal prevalensi femisida di tanah air. Sedangkan, di lingkungan internasional, sejumlah negara telah memasukkan femisida dalam produk hukum mereka, seperti Costa Rica, Chile, Argentina, Meksiko hingga Peru.
Ketiadaan regulasi yang jelas tentang femisida di Indonesia memperlihatkan bahwa isu ini belum mendapatkan atensi khusus dari pemerintah. Kekosongan aturan yang tegas, institusi penegak hukum menghadapi kesulitan untuk mengimplementasikan tugas mereka dalam memberikan keadilan bagi para korban femisida.
Akibatnya, ini membentuk efek domino, di mana kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun, namun tidak ada langkah nyata yang diambil untuk memproteksi dan memitigasinya.
Selain dengan memperbaiki produk hukum yang relevan dengan kebutuhan zaman, keseriusan dalam meningkatkan kualitas aparat penegak hukum dan petugas layanan korban dalam mengidentifikasi kasus femisida serta mengevaluasi kerentanan bahaya dalam kasus kekerasan terhadap perempuan sangat penting.
Upaya ini sangat diperlukan agar ketika mengidentifikasi korban, para petugas dapat menggali informasi perihal beragam faktor seperti relasi kuasa, pola kekerasan dalam rumah tangga, ancaman, manipulasi pelaku, atau kekerasan seksual. Dengan demikian, dalam mengimplementasikan pasal-pasal dalam KUHP, UU PKDRT, UU TPPO, UU Perlindungan Anak atau UU TPKS yang relevan dengan kematian perempuan korban, sanksi hukumannya dapat diperberat.
Pada tahun 2023 Komnas Perempuan mencatat 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan statistik kasus femisida yang terus meningkat: 95 kasus (2020), 237 (2021), 307 kasus (2022), dan 159 kasus (2023). Kendati ada penurunan kasus kekerasan terhadap sebesar 12% jika dikomparasikan dengan tahun sebelumnya, angka femisida tetap memperlihatkan trend yang mengkhawatirkan (YAPHI, 2024).
Laporan Lintas Feminis Jakarta pada 2022 mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2016 - 2017 terdapat setidaknya 161 kasus pembunuhan perempuan yang hampir seluruhnya dilakukan oleh pihak laki-laki. Beragam kasus semacam ini memperlihatkan bahwa pembunuhan terhadap perempuan tidak hanya fenomena yang kebetulan atau hanya terjadi di satu waktu atau tempat, melainkan sudah menjadi masalah global yang memerlukan perhatian yang serius.
Oleh karena itu, penanganan femisida tak hanya menjadi tugas pemerintah sebagai pembuat kebijakan, melainkan juga seluruh andil masyarakat. Tentu saja, mengatasi femisida bukanlah perkara muda. Kompleksitas tantangan yang meliputi keterbatasan data yang konsisten, keragaman waktu dan lokasi kejadian, serta kesulitan dalam mengidentifikasi korban yang terbunuh dalam konflik bersenjata atau kejahatan terorganisir.
Selain itu, investigasi terhadap kasus femisida masih jauh dari jangkauan efektivitas penegakan hukum. Karena itu, diperlukan upaya sistemik untuk membenahi regulasi dan ekosistem penegakan hukum demi memproteksi perempuan dari kekerasan dan praktik femisida.
Menyaksikan semakin meningkatnya kasus femisida, Komnas Perempuan memberikan sejumlah rekomendasi kepada Polri, DPR RI dan Pemerintah serta Pers atau Perusahaan Media. Lembaga Kepolisian diharapkan dapat melakukan pendokumentasian secara nasional terkait kasus femisida untuk memetakan penyebab, pola dan pelaku femisida di Indonesia. Data tersebut akan menjadi dasar dalam merumuskan sejumlah langkah sistemik guna melakukan penanganan dan pencegahan. Selain itu, Polri juga harus memastikan keamanan bagi pihak pelapor dan perempuan yang rentan terancam keselamatannya.
Selain itu, lembaga legislatif (DPR) dan eksekutif diminta untuk melakukan pembaharuan hukum pidana yang mengatur soal femisida, dengan menjadikannya sebagai bentuk pembunuhan khusus terhadap perempuan sebagai alasan untuk memberatkan hukuman.
Sebagai pendistribusi informasi, Pers diharapkan menyajikan pemberitaan yang berspektif pada korban dalam kasus femisida, dengan menggali berbagai bentuk kekerasan berbasis gender. Selain itu, media juga perlu mencegah re-viktimisasi dengan menjaga integritas korban dan keluarganya.