Medialombok.com - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 diwarnai beragam fenomena tak terduga, termasuk keadaan dimana pasangan calon (Paslon) yang terpaksa harus melawan kotak kosong hingga maraknya isu “surat kaleng” di sejumlah wilayah.
Di beberapa daerah bahkan hanya mempunyai Paslon tunggal dan harus bersaing melawan kotak kosong. Dari sebagian daerah tersebut, ada yang berhasil mengalahkan kotak kosong, namun tidak sedikit juga yang mengalami kekalahan dari kota kosong.
Fenomena kemenangan kotak kosong dalam proses pemilihan umum ini sebenarnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Kekalahan calon tunggal dan kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Serentak 2024 menjadi perhatian karena memperlihatkan adanya ketidakpuasan publik terhadap Paslon yang tersedia. Pilkada yang semestinya menjadi kontestasi untuk memilih pemimpin yang ideal, justru ternodai dengan fenomena yang mengejutkan ini.
Tahun 2024 terdapat 37 daerah dengan calon tunggal, dan dua diantaranya justru dimenangkan oleh kotak kosong, beberapa diantaranya yakni Pilkada Wali Kota-Wakil Wali Kota Pangkalpinang dan Pilkada Bupati-Wakil Bupati Kabupaten Bangka.
Menyoroti kondisi ini, Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, mengungkapkan urgensitas evaluasi terhadap Pilkada 2024, terutama menyusul kemenangan kotak kosong di sejumlah daerah. Evaluasi ini dianggap penting untuk menyusun langkah lebih baik menjelang Pilkada 2025.
Data perhitungan suara di Pilkada Pangkalpinang memperlihatkan kotak kosong mendapatkan 55,9% suara. Keberhasilan kotak kosong ini memantik aksi cukur botak massal sebagai bentuk perayaan oleh pendukungnya di Tugu Kerito Surong, simbol lokal Kota Pangkalpinang. Fenomena ini juga mengumandangkan kritik terhadap sistem politik yang dinilai tidak mampu mengakomodasi aspirasi publik.
Kekalahan ini terasa lebih tragis karena pasangan petahana, yang didukung oleh 16 partai politik kalah dari kotak kosong. Di Kabupaten Bangka, pasangan Mulkan - Ramadian yang diusung oleh 10 partai politik juga tidak mampu memenangkan kontestasi Pilkada 2024. Mereka hanya meraup 42,75% suara, sedangkan kotak kosong unggul dengan 57,25% suara.
Menyikapi fenomena ini, DPR dan penyelenggara pemilu telah sepakat untuk menyelenggarakan Pilkada ulang pada pertengahan tahun 2025 di sejumlah daerah yang dimenangkan oleh kotak kosong. Kesepakatan ini diambil usai Rapat Dengar Pendapat Pendapat (RDP) pada September 2024, dan kini tengah disiapkan bersama KPU, Kemendagri, Bawaslu, dan DKPP. Sedangkan untuk masa kampanye untuk Pilkada ulang dijadwalkan berlangsung selama satu bulan, mulai akhir Juli - Agustus 2025. Sementara itu, untuk daerah-daerah yang dimenangkan kotak kosong, pejabat kepala daerah akan menjabat sementara hingga kepala daerah definitif dilantik pasca Pilkada ulang.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah mempersiapkan dua opsional perihal jadwal tahapan Pilkada ulang, sebagai dampak dari kemenangan kotak kosong pada Pilkada Serentak 2024. Hal ini disebabkan oleh kemenangan kotak kosong di dua daerah yang baru diketahui pada Rabu (4/12/2024).
Pilihan pertama adalah penetapan hari pemungutan suara ulang pada 24 September 2025, dan pilihan kedua pada 24 Agustus 2025. Jika opsi pertama yang dipilih, tahapan Pilkada ulang akan dimulai pada Maret 2025. Sedangkan jika opsi kedua yang ditentukan, maka tahapan Pilkada ulang akan dimulai pada Februari 2025.
Fenomena kemenangan kotak kosong di Pilkada periode ini awalnya dianggap sebagai anomali, serupa yang terjadi pada Pilkada Kota Makassar 2018. Namun, sejumlah kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Serentak 2024 memperlihatkan bahwa ini bukan sebatas anomali, melainkan bentuk perlawanan rakyat terhadap calon yang diusung oleh partai politik.
Peristiwa ini menjadi sinyal bahwa partai politik harus lebih memperhatikan aspirasi publik dalam memilih calon pemimpin. Hal ini juga secara tidak langsung memperlihatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap Paslon yang tersedia.
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai bahwa minimnya partisipasi pemilih dan meningkatkan ketidakpercayaan publik terhadap praktik politik yang dinilai tidak membawa perubahan menjadi penyebab kemenangan kotak kosong. Ia juga menambahkan bahwa masyarakat mulai jenuh dengan janji politik yang tak kunjung terealisasi dan kecewa dengan kinerja petahana. Selain itu, keberanian publik untuk melawan dominasi partai politik yang dianggap tidak kompeten semakin besar.
Sementara, Peneliti Perludem, Annisa Alfath, berpendapat bahwa tingginya suara untuk kotak kosong merefleksikan kurangnya alternatif pilihan yang memadai. Pilkada dengan calon tunggal terjadi karena hanya ada satu pasangan calon yang memenuhi syarat pencalonan.
Meskipun Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah di Pilkada, partai politik tidak memberikan alternatif calon yang sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Lebih lanjut, Annisa juga menambahkan bahwa calon tunggal seringkali merupakan hasil konsensus dari koalisi besar yang mendominasi daerah tertentu, sehingga mengeliminasi para kandidat independen atau alternatif.
Alhasil, masyarakat, pada gilirannya, merasa bahwa calon tunggal tidak merepresentasikan aspirasi mereka, baik karena rekam jejak yang buruk maupun karena calon tersebut dianggap sebagai alat politik elite. Sehingga, kotak kosong, dalam hal ini, dianggap sebagai bentuk protes demokratis yang sah.
Kemenangan kotak kosong di sejumlah daerah pada Pilkada 2024 tidak hanya sebatas peristiwa unik, tetapi merupakan bentuk protes yang legal dari publik terhadap ketidakpuasan mereka kepada kontestan yang tersedia. Ini merupakan sirine yang kuat bahwa sistem politik dan pencalonan kepala daerah di Indonesia memerlukan pembenahan yang signifikan. Menyikapi kondisi ini, partai politik harus lebih memprioritaskan aspirasi rakyat dalam mengusung calon pemimpin yang berkualitas. Jika tidak, kejadian serupa bisa terus menjadi siklus yang berulang dan merusak kredibilitas iklim demokrasi di Indonesia. (Yayang)